Segalanya berubah bagi Sonny ketika sang kekasih sedang mengejar impiannya di dunia modeling. Sepi dan sendiri, namun Sonny berusaha mendukung Febby dengan sepenuh hati …
“Besok aku jemput di studio ya ?”
“Sorry, Son. Aku sudah ada janji bareng Fifin dan Cindy. Kita mau ke mal.” “Tapi …” “Aku tahu kamu banyak pekerjaan penting. Tidak perlu memaksakan diri untuk menjemputku.” “Feb, aku ini cowok kamu. Semua yang aku lakukan buat kamu adalah keinginanku sendiri. Aku tidak pernah merasa terpaksa. Aku malah senang kalau bisa punya waktu untuk bersamamu.” “Oke, oke, tapi aku bisa pulang sendiri.” “Kamu berubah, Feb. Kenapa kamu sekarang seperti ini ?” “Hei, apanya yang berubah ?” “Aku nggak ngerti kenapa, tapi belakangan ini kamu seperti menghindar untuk sering bertemu denganku.” “Aku nggak merasa begitu.” “Dulu kita punya jauh lebih banyak waktu untuk bersama, Feb. Kenapa sekarang sebuah pertemuan biasa saja kamu hindari ?” “Aku tidak menghindar, Son. Aku sibuk. Kamu tahu jadwalku kan ?” “Iya aku tahu. Febby-ku kini seorang model. Tentu saja tidak punya waktu buat seorang cowok biasa yang nggak mengerti apa pun tentang dunia permodelan, sekalipun cowok itu sangat menyayanginya.” “Sonny !” Sekarang kamu cuma mau bergaul dengan teman-temanmu sesama model. Sadarkah kamu, Feb ? Bukan cuma terhadapku kamu berubah. Terhadap teman-teman kita yang lain pun kamu sekarang acuh. Biar sekarang kamu sudah mencapai kesuksesan, bukan berarti kamu boleh lupa diri seperti ini.” “Sudahlah, Son. Aku tidak mau dengar ini.” “Feb, entah di mana posisiku sekarang dalam hatimu. Yang pasti aku merindukan Febby yang dulu kembali.” “Febby masih tetap cewek Sonny. Yang satu ini tidak pernah berubah, Son. Kamu harus percaya.” “Kalau kamu masih menganggapku, kenapa setiap kali kamu memilih pergi bersama teman-teman barumu daripada denganku ? Aku kan tidak pernah keberatan kalau ketidakbisaan kamu menemani aku ke suatu acara karena jadwal pemotretan. Tapi terus terang aku sedih kalau acara kita harus batal karena hal-hal yang aku tidak bisa mengerti.” Febby terdiam. “Feb, sekarang untuk menghubungi kamu pun aku sulit. Seharian aku sudah menelepon kamu empat atau lima kali. Baru malam ini aku bisa bicara sama kamu kan ?” “Sudahlah Son, aku capek. Kita bahas lain kali saja ya ?!” Telepon ditutup sebelum aku sempat berkata apa-apa. Aku cuma bisa menghela nafas panjang. Kurebahkan diriku di ranjang sementara kedua mataku menatap kosong pada langit-langit kamar yang sudah mulai kotor. Cukup lama aku dan Febby menjalin hubungan kasih. Dua bulan yang lalu aku mendorong Febby untuk mengikuti seleksi model dalam sebuah perlombaan. Aku tahu Febby sangat mengharapkannya. Setiap hari aku rajin membesarkan semangat Febby yang pada mulanya merasa sangat ragu. Sebagai cowoknya, aku cuma menginginkan Febby bahagia dengan mendapatkan apa yang didambakannya. Kabar bahwa Febby terpilih sangat membuatku bangga waktu itu. Kita merayakannya berdua di sebuah rumah makan. Tidak mewah, memang, karena memang hanya sampai di situ kemampuan ekonomiku saat ini. Pokoknya aku berusaha selalu memberikan yang terbaik hanya untuk Febby. Hari itu suasana terasa sungguh istimewa. Aku dan Febby mengucap janji untuk saling setia. Sama sekali tidak pernah aku bayangkan kalau lingkungan baru Febby yang jauh berbeda ternyata sanggup merubah total sikap dan tingkah laku Febby hanya dalam beberapa hari. Waktu demi waktu terasa jarak diantara kami makin menjauh. Jangankan untuk acara berdua, bertemu muka pun susah. Entahlah, aku berusaha menghibur diri. Mungkin Febby perlu waktu untuk terbiasa dengan semua ini. Semoga setelah masa-masa peralihan ini selesai, segalanya akan normal kembali. Tok ! Tok ! Tok ! “Son, Rina datang, ” suara Rinto terdengar dari depan kamar. Aku mengeringkan kedua mataku yang mulai basah dan memerah. “Suruh dia masuk.” Sebelum Rinto sempat menjawab, Rina sudah masuk ke dalam kamarku. “Hai Son, enggak lagi sibuk kan ?” “Kenapa ?” aku masih berusaha menyadarkan diriku dari lamunanku sesudah pembicaraan telepon tadi. “Bantuin Rina buat tugas ini dong, ” Valerina menyodorkan beberapa buku kuliahnya. “Sebisaku, ya ??!” “Iya lah, Rina yakin Sonny pasti bisa.” Aku cuma tersenyum kecut, kadang Rina terlalu melebih-lebihkan kemampuanku yang nggak seberapa. Perlahan, aku mulai menyimak angka-angka hitungan yang memang rumit itu. “Kenapa mata Sonny merah ?” “O-oh, t-tidak apa-apa. Tadi rasanya gatal, terus jadi begini. Nanti setelah ditetesin obat juga sembuh.” Valerina menatapku tajam. “Sonny bohong sama Rina ya ??” “T-tidak. Sungguh !” “Sonny baru menangis ?” tanyanya hati-hati. “A-aku …” Valerina menutup buku-bukunya, termasuk yang sedang kubaca. “K-kenapa, Rin ?” “Enggak jadi. Rina nggak mau jadi masalah tambahan buat Sonny.” Aku tidak menjawabnya. “Perlu teman bicara ? Kalau Sonny percaya sama Rina, Rina siap dengerin.” Aku masih diam. “Masalah sama Febby ?” Aku mengangguk pelan, masih tanpa suara. “Sepertinya Rina nggak boleh tahu. Iya kan ?” “Entahlah, Rin. Maafkan aku, pikiranku masih kacau sekarang.” “Ya sudah, sepertinya lebih baik Rina nggak berlama-lama di sini. Rina pulang dulu ya, Son.” Gadis itu berdiri dan beranjak menuju ke pintu. “Rina, gimana dengan tugas kamu ?” “Entar Rina baca sendiri dari buku, Rina yakin bisa. Hanya saja, tadinya Rina pikir lebih enak kalau dibahas bareng Sonny.” “Maaf, Rin.” “Mestinya Rina yang minta maaf karena mengganggu Sonny.” “Kamu enggak salah, Rin. Aku juga tidak merasa terganggu kok.” “Sudahlah, besok sore Rina ke sini lagi. Kamar Sonny sudah berantakan, entar Rina bantu beresin.” “Aku merepotkan kamu, Rin.” “Rina senang melakukannya kok.” Aku tidak menjawab. Valerina pulang dan aku kembali larut dalam lamunanku. Sudah jam 12 malam dan aku masih belum juga berhasil memejamkan mataku. Samar-samar kudengar dering telepon dari luar, dari ruang tamu rumah kontrakanku bersama Rinto dan Ari. Siapa sih yang telepon tengah malam begini ? Aku mengomel dalam hati. “Son, ada telepon buat kamu, ” Rinto mengetuk pintu. Busyet, siapa pula itu ? Tidak biasanya ada yang mencariku tengah malam begini. “Iya, sebentar, ” aku bergegas bangkit dari tempat tidur. Masih agak malas aku keluar kamar dan menghampiri pesawat telepon. “Halo.” “Halo. Son, ini Rina. Maafin Rina karena telepon tengah malam begini.” “Nggak apa-apa. Lagian aku juga belum tidur kok. Ada apa Rin ?” Valerina tidak menjawab. “Hei, kok diam ? Sariawan ya ??” aku mencoba melucu. “Mestinya Rina enggak telepon Sonny. Rina tahu Sonny juga lagi ada masalah.” “Kenapa, Rin ? Ada apa sebenarnya ?” “Barusan Rina dapat telepon yang mengabarkan kalau Tino sekarang di rumah sakit. Tino ditemukan di dalam mobil sudah pingsan dengan luka tusukan di dada.” “Hah ?!??” aku tak dapat menyembunyikan keterkejutanku. “Keadaan Tino parah, Son. Rina mau ke rumah sakit melihat keadaan Tino, tapi Rina takut.” Valerina mulai terisak. “Tenang dulu, Rin. Tenang. Kita pikirkan jalan keluarnya. Yang jelas kamu nggak boleh pergi ke sana sendirian jam 12 begini, terlalu berbahaya.” “Rina sudah coba bicara sama teman-teman kost Rina. Enggak ada yang bisa temani Rina. Sebagian sudah tidur dan Rina nggak mau membangunkan mereka. Lainnya punya acara pergi ke diskotik.” “Diskotik ??” aku mengerutkan dahi. “Iya, Rina sendiri sih tidak pernah ikut. Tapi beberapa anak di kost Rina memang kadang ke diskotik kalau awal bulan begini.” Aku cuma bisa geleng-geleng kepala. “Kalau sekarang aku ke kost kamu, apakah jam segini aku masih boleh masuk ?” “Rina nggak tahu. Rina akan coba tanya ke ibu kost.” “Begini saja, sekitar lima menit lagi tungguin aku di depan. Kamu cukup keluar dari pintu rumah, jangan keluar pagar, oke ?” “Sudahlah, kamu mau melihat keadaan Tino kan ?” “I-iya.” “Tunggu aku. Sebentar lagi aku sampai di sana.” Telepon kututup dan setengah berlari aku menuju ke kost Rina yang berjarak sekitar dua gang dari sini. “Mau ke mana Son ?” Rinto yang sedari tadi juga belum tidur menanyaiku. “Ke kost Rina. Adiknya di rumah sakit, keadaannya gawat.” Aku tidak memerlukan waktu yang lama untuk sampai ke kost Rina. Di depan rumah berpagar hijau muda itu Rina sudah menunggu. “Sonny …” tampak jelas Rina sudah berlinang air mata. Aku meyeka air matanya dengan saputanganku. “Teman Rina, Melani, mau mengantar sampai ke rumah sakit.” “Berarti dia …” “Setelah mengantar kita, dia mau menyusul yang lain ke diskotik. Tadi dia pulang telat, jadi ketinggalan.” Valerina memotong ucapanku seakan tahu apa yang akan kukatakan. “Astaga, diskotik lebih penting daripada menolong teman …” “Sudahlah, Son. Jangan sampai Melani dengar. Bagaimana kalau dia marah dan nggak jadi mengantar kita sampai ke sana. Apapun alasannya, kita tetap membutuhkannya.” Ucapan Valerina masuk akal. Aku segera berusaha mengendalikan emosiku yang sesaat tadi siap meledak. “Son …” “Ya ??!” “Makasih mau temani Rina malam ini. Rina nggak akan melupakannya.” Seorang cewek dengan pakaian yang agak … keluar dari kost. Aku sudah bisa menebak siapa dia. “Ayo berangkat.” Jujur, perjalanan ke rumah sakit terasa begitu panjang dan lama. Cerita-cerita Melani tentang pengalaman kehebohan di diskotik membuatku mengelus dada. Sepintas aku melirik ke arah Rina. Rupanya dia sama sekali tidak mendengarkan. Tentu saja, pikirannya pasti tengah elayang memikirkan keselamatan adiknya. “Bagaimana dengan papa mama kamu, Rin ?” “Besok pagi, mereka akan berangkat ke sini dengan pesawat.” “Tenanglah, Rin. Tino akan baik-baik saja.” aku mencoba menghibur. Valerina cuma mengangguk kecil. Sebenarnya aku punya perasaan tidak enak sejak pertama mendengar berita tentang Tino tadi. Bagaimanapun, aku tidak tega mengatakannya pada Valerina. Kami sampai di rumah sakit dan segera menuju ke bagian informasi untuk mencari tahu ruang tempat Tino dirawat. Tidak sulit mencari ruangan di sini. Dulu pamanku pernah menjalani operasi di sini. Selama itu pula aku dan keluargaku sering menjenguknya, sampai-sampai aku hampir hafal dengan jalanan di rumah sakit ini. Suasana malam yang sepi, ditambah dengan kecemasan Valerina membuat perasaanku semakin kacau. Pertama kalinya aku merasa takut berjalan di malam hari begini. Suasana terasa begitu mencekam. Aku menelan ludah, berusaha menguatkan diriku. “Rina takut, Son.” “Tenanglah, Rina. Tenang.” Aku berusaha meredakan isak tangisnya. Kami berjalan menuju ruang yang dimaksud. Ada 3 orang pasien dan 1 ranjang kosong di sana. Tak satupun dari mereka adalah Tino. “Tino nggak ada di sini, Son. Bagaimana ini ??” “Jangan panik dulu. Kita coba tanya ke perawat yang berjaga di pos jaga depan pintu masuk tadi. Siapa tahu kita salah ruangan.” Kami melangkah keluar dengan ketegangan yang luar biasa. “Pasien yang bernama Tino Sumardja sudah dibawa ke ruang operasi sekitar 1 jam yang lalu. Anda bisa langsung ke sana lewat jalan sebelah kiri setelah keluar dari blok ini.” “Ya, saya tahu ruangan itu. Terima kasih, Suster.” “Sama-sama.” |
Tepat pada saat kami mendekati ruang operasi, pintu terbuka dan beberapa orang petugas mendorong ranjang operasi keluar dengan pasien yang telah meninggal dunia berbaring di atasnya. Valerina berlari menerjang para dokter di sana dan menyingkap kain yang menutup wajah pasien itu.
“Tinooo … !!!” Valerina menangis sejadi-jadinya. Kuraih tubuh sahabat terbaikku yang tengah mendapat cobaan itu. Kubiarkan Rina menangis di pelukanku. Dokter menjelaskan kalau saat sampai di rumah sakit Tino sudah kehilangan banyak darah. Kalau saja Tino dibawa ke rumah sakit lebih awal, mungkin jiwanya masih bisa tertolong. – – – o O o – – – Upacara pemakaman Tino baru saja berakhir. Sore ini aku bermaksud untuk pulang karena sudah dua hari aku menemani Rina di rumah duka. Kemarin aku tidak tidur semalaman. Badanku terasa tidak seperti biasanya. Kepalaku agak pusing dan kupikir suhu badanku sedikit meninggi. “Kuatkan hatimu, Rin.” “Makasih untuk semuanya, Son. Rina baik-baik saja. Rina tahu Tino sudah hidup bahagia di alam yang lain.” Aku tersenyum kecil. “Hari ini kamu harus banyak istirahat.” Valerina mengangguk. “Kamu juga, Son.” Kutinggalkan area pemakaman itu bersama Ari dan Rinto. Bertiga, kami menuju mobil coklat tua milik Ari. “Kasihan Rina. Dia sangat menyayangi adiknya.” “Tapi tadi kulihat Rina cukup tabah menghadapi semuanya.” Aku diam. “Belakangan ini aku lihat kamu makin dekat sama Rina, Son.” “Rina sahabat terbaikku. Aku nggak mungkin tinggal diam saat dia memerlukan pertolongan. Saat ini yang jelas dia perlu seorang teman. Selama aku bisa, aku akan menjadi teman yang terbaik baginya.” “Kupikir, Rina lebih cocok denganmu daripada Febby.” “Hey, jangan mulai lagi. Aku tahu kalian berdua tidak terlalu menyukai Febby. Aku tidak minta kalian menyukainya. Aku mencintai Febby. Ini keputusanku. Ini hidupku. Paling tidak, hargai Febby seperti kalian menghargai aku.” “Oke oke, terserah ! Sebagai teman kami cuma bisa mengingatkan. Keputusan terakhir tetap di tanganmu.” Aku diam. “Sudahlah, jangan ribut karena masalah kecil begini. Bagaimana kalau sekarang kita ke mal ?” Ari mencoba menenangkanku dan menetralkan suasana. “Sorry, hari ini aku janji menjemput Febby.” “Kenapa Febby tidak datang hari ini ?” “Febby ada jadwal pemotretan. Lagipula kupikir dia juga tidak terlalu kenal dekat dengan Rina.” Kulihat Rinto hendak mengatakan sesuatu. Ari mencegahnya. Aku cukup tahu apa yang kira-kira akan dikatakan Rinto tentang Febby. “Mau kuantar sampai ke studio, Son ?” Ari menawarkan. “Kalau tidak merepotkanmu.” “Enggak, lagian kita juga mau ke mal. Cuma berputar sedikit jalannya.” “Thanks.” Dan mobil itu membawa kami bertiga ke Utara, menurunkan aku di studio pemotretan Febby. Perlahan aku memasuki bangunan yang sudah kudatangi entah berapa kali ini. Makin hari, gedung ini terasa makin asing dan menyeramkan bagiku. Entahlah, perasaanku semakin kacau setiap kali melewatinya. “Hai, Feb.” aku menyapa Febby yang tengah bersiap-siap pulang. “Hai juga. Pemakamannya sudah selesai ?” “Baru saja. Ari mengantarku ke sini.” “Tunggu sebentar ya, biar mereka membersihkan make up ini dulu.” Febby berlari kecil menuju ke sebuah ruangan. Tidak terlalu lama, dia sudah muncul kembali dengan baju sehari-hari, bukan kostum penari seperti yang dikenakannya tadi. “Ayo, aku sudah selesai.” “Gimana pemotretan tadi ?” “Biasa. Nggak ada yang istimewa.” Aku cuma manggut-manggut. “Kamu sendiri bagaimana ?” “Agak capek sedikit sih. Beberapa hari ini aku kurang tidur. Aku membantu Valerina mengurus berbagai keperluan pemakaman Tino. Tapi aku masih cukup sehat kok.” Febby memegang keningku. “Badan kamu demam, Son. Kamu harus istirahat. Jangan sampai sakit.” Aku dan Febby baru saja melangkah ke luar ketika tiba-tiba kepalaku terasa begitu berat dan menusuk. Sesaat kuhentikan langkahku. “Kenapa kamu, Son ?” “E-entahlah. Kepalaku tiba-tiba terasa pusing sekali.” Febby mengeluarkan tisu untuk meneka keringatku. “Ayo, kamu harus segera pulang.” Febby memanggil taksi dan memintanya membawa kami ke rumah kontrakanku. Aku sendiri rasanya sudah nyaris kehilangan kesadaran. “M-maafkan aku, Feb. Mestinya aku menjemput dan mengantarmu pulang. Sekarang malah kamu yang repot mengantarku.” “Sssst ! Jangan ngomong begitu. Aku bisa pulang sendiri. Sekarang yang penting kamu harus istirahat.” Aku sudah tidak kuat berjalan ketika taksi sampai di depan rumah kontrakanku. Rinto yang kebetulan berada di depan pagar langsung memapahku ke kamar. “Son, kamu kenapa ?” “Tadi badannya demam, terus mulai pusing. Di taksi keadaannya semakin parah,” Febby menjelaskan. “Oke, apa lagi yang bisa aku bantu ?” tanya Rinto setelah aku berbaring di ranjang kamarku. “Thanks, To. Aku sudah agak baikan sekarang.” “Son, Febby pulang dulu ya. Febby nggak mau ngegangguin kamu istirahat.” Aku diam. “Son …” “I-iya, pulanglah. Makasih, Feb.” Febby melangkah keluar memasuki taksi yang tadi membawaku kemari. Rinto tampak menunggu sampai Febby agak jauh baru kemudian masuk ke kamarku lagi. “Tolol kamu, Son ! Jangan bilang kalau tadi kamu belum merasa nggak enak badan. Di pemakaman badanmu sudah demam. Semalaman kamu tidak tidur kan ? Kamu nemenin Rina di rumah duka. Kenapa tadi kamu nggak langsung pulang ke sini saja ? Pakai nekat menjemput Febby segala.” “Aku sudah berjanji, To.” “Kamu sakit, Son. Keterlaluan sekali kalau Febby sebagai pacarmu tidak mau mengerti.” “Meskipun keadaanku lebih parah dari ini pun aku tetap akan memenuhi janjiku, Rinto.” “Berarti aku tidak salah mengatakan kamu tolol.” Aku tersenyum kecut. “Sudahlah, kamu harus tidur sekarang. Masih punya persediaan obat ?” Aku mengangguk. “Rinto …” “Apaan ?” “Ngomong-ngomong, kenapa kamu nggak jadi ke mal bareng Ari ?” “Ooo itu, tadi Ari ditelepon Sinta lewat HP. Sinta minta diantar ke toko buku. Jadi rencana dibatalin dan aku pulang ke sini. Dugaanku sih nggak lama lagi mereka bakal jadian.” “Dasar tukang gosip.” “Eeeh, nggak percaya ? Ini bukan gosip. Entar coba lihat sendiri buktinya.” Rinto melangkah keluar. “Hai, Rin.” “Hai Rinto, Sonny di dalam ?” “Iya tuh, dia lagi demam. Tadi Febby mengantarnya ke sini.” Valerina segera masuk ke dalam. “Sonny, kamu kenapa ?” “Cuma pusing sedikit, Rin. Kamu sendiri ngapain ke sini ?” “Rina mau nganterin ini ,” jawabnya sambil menunjukkan buku agendaku. Oh, rupanya ketinggalan, pikirku. Valerina mengembil kursi, duduk di tepi ranjang, lalu memegang keningku. “Panas begini dibilang cuma pusing sedikit ? Rina buatin kompres ya …” “Sudahlah, Rin. Kamu juga pasti capek. Pulang dan tidurlah. Makasih sudah mengantar agenda ku. Sebetulnya besok pagi juga masih belum terlambat untuk diantar kok.” “Sekarang kan kenyataannya Rina sudah di sini. Kemarin malam Rina tertidur di rumah duka. Rina tahu Sonny menemani Rina semalaman. Ini semua salah Rina. Jadi Rina harus menemani Sonny sampai sembuh.” “Rina …” “Enggak ada protes. Sekali ini Sonny harus nurut sama Rina.” Aku cuma bisa geleng-geleng kepala. “Rinto, tolong ambilin es batu buat kompres dong.” Rina berteriak ke luar. “Iya, beres. Tunggu sebentar,” terdengar suara Rinto. Valerina mengambil kain, baskom, dan air. Dia memang sudah hafal letak barang-barang di kamarku. Enggak perlu heran, kenyataannya memang dia yang merapikan seluruh barang-barang ini. “Sementara ini dulu, sambil nungguin es batu dari Rinto.” Valerina meletakkan kompres itu di dahiku. “Bagaimana orang tuamu, Rin ?” “Sudah kembali ke Sumatera. Tadi mereka langsung ke airport.” “Langsung pulang ?” tanyaku heran. “Iya, urusan bisnis papa kan lebih penting.” Sorot mata yang lembut itu menyiratkan sebuah kekecewaan yang mendalam. Aku menahan diri untuk tidak berbicara lebih jauh. “Kadang-kadang Rina merasa mereka tidak menghendaki Rina dan Tino. Mungkin karena itu juga Tino mencari pelampiasan dengan kebiasaan-kebiasaan buruknya,” Febby berkata lirih. “Jangan bilang begitu. Papa mama Rina pasti sayang sama Rina.” “Son, Rina kangen sama Tino.” Setetes cairan bening membasahi kedua pipi Valerina. “Tino sekarang sudah tenang beristirahat di alam sana. Pasti dia tidak ingin kamu sedih.” Rinto masuk membawa es batu yang tadi diminta Rina. Rina segera menghapus air matanya. “Ini es-nya.” “Makasih, To.” “Sudahlah, tolong kasih tau si Sonny supaya dia juga mau memikirkan kesehatannya sendiri. Sudah tahu sakit masih nekad menjemput Febby. Udah gitu si Febby bukannya ngerawat, sampai di sini dia malah langsung pulang. Kalau aku sih nggak mau punya cewek seperti itu.” “Rinto !” aku berkata keras. Kulihat Valerina memberi isyarat kepada Rinto untuk keluar. Dia memasukkan es ke baskom, kemudian mengganti kompresku. “Jangan terlalu dipikirin. Rinto kan memang orangnya begitu, kadang bicara seenaknya. Tapi dia baik sama Sonny kan ?” “Kadang-kadang memang aku sulit mengndalikan emosiku. Seperti tadi, Rin.” Valerina telah selesai memasang kompressku. “Udah merasa baikan belum ?” Aku mengangguk. “Aku mencintai Febby, Rin.” “Iya iya, Rina ngerti kok. Kadang Rina ngiri sama Febby. Dia bisa mendapatkan perhatian yang tulus dari cowok sebaik Sonny. Rina berharap bisa seberuntung itu suatu hari nanti.” Aku tersenyum kecil. “Kamu pasti akan menemukan seorang cowok yang baik, Rin.” “Doain Rina ya.” “Iya, pasti dong.” Aku tertidur sementara Rina menunggu di kamarku. Cukup lama sampai dia membangunkanku untuk minum obat. “Son, bangun sebantar. Minum obat dulu.” Kulihat kamarku sudah rapi kembali. “Rina, kenapa kamu beresin kamar segala ? Kamu kan capek juga.” “Sudahlah, yang penting kamu cepat sembuh.” Aku meminum obat yang diberikan Valerina. “Sudah baikan ?” “… lumayan.” “Malam ini Sonny harus tidur lebih banyak. Besok Rina ke sini lagi.” “Jam berapa sekarang ?” “Jam 9 malam. Makanya Rina sudah harus pulang.” “Astaga, lama juga aku tertidur.” Valerina tersenyum kecil. “Rina pulang dulu ya …” “Hati-hati di jalan,” aku mencoba bangkit dari ranjang, tapi kepalaku terasa berat sekali. <bersambung> Jakarta , 3 Desember 2001 |
Dilarang menggunakan cerpen ini untuk keperluan komersial dalam bentuk apa pun tanpa ijin tertulis dari penulis. Penyebaran cerpen diperbolehkan selama bersifat non-komersial dengan syarat harus menyertakan link URL ke alamat
https://www.robertsetiadi.com/articles/short-stories/detak-waktu-1/