Ungkapkan perasanmu sebelum semuanya menjadi terlambat. Cinta dapat datang kapan saja, di mana saja, pada diri siapa saja. Saat perpisahan menjadi sungguh menyakitkan …
Tidak setiap kasih akan disambut dengan sayang. Tidak setiap cinta akan berhasil diwujudkan. Sering aku membaca cerita atau menonton film tentang cinta. Begitu manis dan indahnya kisah-kisah mereka. Di dunia nyata ini, kudapati bahwa segalanya sangatlah berbeda.
Tidak semudah itu mendapatkan sesuatu yang amat didambakan. Cinta dapat membawa arti dan kebahagiaan dalam hidup. Namun cinta juga dapat membuat hidup ini menjadi sangat rumit bagai benang yang kusut. Pendapatku di atas memang sedikit aneh bagi kebanyakan orang. Mungkin kalian ingin tahu mengapa aku berpendapat seperti itu. Baiklah, akan kuceritakan pengalaman pribadi yang baru saja kualami. Cerita ini bermula setahun yang lalu. Ketika itu aku mulai menaruh hati pada seorang gadis muda yang berparas cukup lumayan. Sebenarnya sih aku sudah mengenalnya sejak lama. Tapi baru sejak saat itulah keakraban kami menumbuhkan suatu perasaan yang khusus di hatiku. Rika Viona Dewi, itulah nama lengkapnya. Aku lebih suka memanggil gadis itu dengan nama Rika. Dia seorang penari yang cukup handal. Bahkan sudah professional, kalau boleh kukatakan. Untuk sekali show dia telah dibayar dengan segepok rupiah yang setidaknya cukup untuk memberinya kehidupan yang berkecukupan. Bila kubandingkan dengan tiga orang pacarku yang terdahulu, sebenarnya kecantikan Rika tidak lebih dari mereka. Paras wajahnya memang ayu, tapi belum cukup untuk dapat dikatakan istimewa. Entahlah, kurasakan ada sesuatu yang menarik dalam dirinya. Sesuatu itu pula yang menumbuhkan rasa cinta di hatiku, lebih dari yang pernah kurasakan sebelumnya. Siang hari aku sibuk dengan pekerjaan kantor. Kesempatanku menemuinya hanyalah sore dan malam hari. Suatu keuntungan bahwa aku berteman cukup baik dengan sobat-sobatnya. Sering kumanfaatkan hal ini untuk membuat acara bersamanya. Seperti anak-anak muda lainnya, kami (aku, Rika, dan teman-teman) tentu saja tak dapat lepas dari kegemaran pesta, shopping, nonton, dan lain-lainnya itu (tahu sendiri lah !). Perlahan tapi pasti, lewat kesempatan-kesempatan itulah aku mencoba merebut hatinya. Masih jelas kuingat saat-saat ketika aku mengetikkan naskah makalah untuk Rika (dia masih kuliah). Susah payah aku mengetik sampai larut malam untuknya, eh ternyata ia sudah membuat sendiri tugas itu. Jadinya sia-sia deh hasil kerjaku semalam. Sebenarnya aku agak dongkol ketika itu. Tapi senyum dan tawanya yang manis itu sekali lagi mampu meluluhkan perasaanku. “Sori banget ya, Vid. Aku sudah buat sendiri tugas itu tadi malam. Lagi nganggur sih ! Kupikir kamu cuma main-main waktu kamu bilang mau bikin tugas itu untukku,” kata Rika dengan gayanya yang khas. “… ya udah deh ! Nggak apa-apa kok !” sahutku kesal. “Jangan marah dong ! Gini aja, sebagai gantinya nanti sore aku traktir pizza, mau nggak ?!” “Hmmm, serius nih ?” tanyaku penuh selidik. “Iya dong ! Aku bayarin pizzanya, tapi kamu wajib jemput aku di rumah. Soalnya kakakku lagi pergi, jadi nggak bisa nganterin.” “Oke lah ! Jam berapa ?” “Jam lima.” Waktu itu kupikir makan pizzanya cuma berdua aja (kesempatan nih !), tapi ternyata dia malah ngajakin konco-konconya yang cewek semua itu. Seperti yang kuduga, saat acara makan mereka justru pada asyik ngegosip. Aku yang cowok sendiri ini tentu aja dicuekin. Cuma sekali dua kali mereka ngomong ama aku, itupun dengan maksud “ngerjain“. Terang aja aku nggak berkutik, lha wong dikeroyok ! Kejadian seperti ini bukannya sekali doang, selalu saja rencanaku gagal karena kehadiran teman-temannya yang jago ngerumpi itu. Sekali dua kali aku tidak curiga, tapi lama-kelamaan kusadari bahwa Rika selalu berusaha didampingi mereka saat punya acara denganku. Hmm, apakah memang ini cara cewek jaman sekarang mengantisipasi segala usaha pendekatan and rayuan dari cowok ?! Entahlah, pusing aku ! Hari demi hari makin kusadari bahwa cintaku yang kali ini memang berbeda dengan yang dulu-dulu. Memang, tidak semua cewek yang kusuka berhasil kuperoleh. Tapi setidaknya mereka selalu menunjukkan sikap yang jelas terhadapku. Suka atau tidak segera dapat kulihat dari caranya bergaul denganku. Bagaimana dengan Rika ? Menurutku, apa yang telah kami lakukan lebih mirip permainan kucing-kucingan. Aku yakin bahwa Rika telah mengetahui (atau setidaknya menduga) tentang perasaanku padanya. Tapi dia sama sekali tak menunjukkan gejala menerima ataupun menolak. Lantas aku harus bagaimana ? Bener-bener membingungkan ! Pernah suatu ketika aku mencoba mengajak Rika untuk ngomong lebih serius tentang cinta. Setelah kuatur strategi sebelumnya, aku mencoba menggiring pembicaraan kami ke situ. Tahukah kalian bagaimana tanggapannya ? Rika langsung ngeloyor pergi dengan “wajah tak berdosa”. “O iya, aku ada janji sama teman. Sori ya, aku pergi dulu.” Terlepas dari segala sikap anehnya, bagaimanapun Rika adalah gadis yang sangat memikat. Ada sebuah kenangan manis bersamanya yang seumur hidup tak akan pernah kulupakan. Malam itu kebetulan aku lewat di depan gedung latihan tarinya. Sungguh, kali ini aku tak mempunyai rencana untuk menemuinya. Hari sudah larut malam (aku habis kerja lembur) , kupikir tentu Rika sudah pulang sejak sore. Kaget juga aku melihat Rika seorang diri di depan gedung itu. Segera kuhentikan mobilku persis di depannya. “Rika, kok belum pulang ? Sudah malam lho ! Nggak baik seorang cewek sendirian malam-malam begini.” “Aku tahu sih ! Seharusnya sudah dari tadi kakakku datang menjemput, tapi sampai sekarang belum datang. Sudah malam begini mana mungkin aku pulang naik kendaraan umum ?!” “Begini saja …” aku membuka pintu mobil lalu menghampirinya. “Mau kuantar nggak ?” Rika agak ragu-ragu sesaat sebelum akhirnya ia menerima ajakanku. “Thank’s banget ya, Vid. Aku jadi nggak enak nih sama kamu.” “Ala, sama teman sendiri kok.” “Bukan begitu ! Kamu kan baru saja pulang kerja, pasti kamu capek. Sekarang kamu masih harus mengantar aku dulu, kan aku jadi merasa bersalah.” “Ka, jelek-jelek begini aku masih punya hati. Mana mungkin aku tega membiarkan teman baikku sendirian menunggu di malam hari begini.” Rika tersenyum. Aku juga. Pada menit-menit pertama pembicaraan kami masih kaku. Rika lebih banyak diam sambil mengamati berbagai aksesori mobil koleksiku. Ketika kulihat sepintas, ia sedang memperhatikan stiker warna merah yang menempel di dashboard dekat AC. Di situ tertera jelas nama lengkapku : DAVID LAVIONA SUTANTO. “Hey, aku baru tahu sekarang kalau kamu punya nama tengah, Vid!” Mukaku menjadi merah padam. Memang nama tengahku selama ini kurahasiakan. Kayak nama cewek sih ! “Ka … Jangan kasih tahu sama orang lain ya ?!” “Emang kenapa ?” Aku diam. “O, karena mirip nama cewek ya ??” Aku mengangguk, pura-pura berkonsentrasi menyetir. “Baiklah, aku janji nggak bakalan membuka rahasiamu ini.” “Nah, gitu dong !” “Hmm, ngomong-ngomong kita punya kesamaan lho ! Aku juga punya nama tengah. Nama tengahku Viona, hampir sama kan ?!” Jawaban Rika ini membuat kami berdua tertawa bersama-sama. Sebenarnya, itulah saat pertama aku tahu kalau Rika juga punya nama tengah. Itu juga saat pertama kalinya aku menyenangi nama tengahku. Selanjutnya kami ngobrol tentang banyak hal. Tentang musik, tari, pekerjaan kantorku, dan berbagai topik lainnya. Ditambah dengan kondisi jalanan yang macet dan penuh sesak, saat-saat bersama itu menjadi sangat indah bagiku, meskipun pembicaraan kami sama sekali tidak menyangkut tentang cinta. Tidak selamanya kenyataan yang terjadi sesuai dengan harapan kita. Di tengah-tengah kebahagiaanku, dua hari yang lalu kudengar sebuah kabar yang sangat memukul perasaanku. Sore itu kebetulan aku bergabung bersama teman-teman, termasuk Rika, dalam sebuah acara makan. Kawanku Freddy yang pada hari itu berulang-tahun mengundang (hampir) semua teman-temannya. Semacam traktiran, gitu lah ! |
Sebenarnya aku sama sekali tidak berniat menguping. Tapi saat itu tak sengaja aku mendengar obrolan antara Rika dan beberapa sobatnya. Kudengar Rika bercerita bahwa ia lagi jatuh cinta ama seorang cowok cakep, namanya Aldo. Beberapa hari ini cowok itu selalu menjemputnya seusai jam kuliah.
Rasanya dunia mau kiamat. Hampir-hampir aku tak mempercayai pendengaranku sendiri. Kucoba menghibur diri bahwa semuanya itu belum tentu benar. Bukankah aku hanya mendengar sepotong pembicaraan saja ?! Kuputuskan untuk segera mencari tahu tentang cerita sebenarnya dengan lengkap. Keesokan harinya (kemarin pagi) aku menelepon Mona, seorang kawan Rika yang terlibat dalam pembicaraan itu. Kebetulan Mona adalah kawan baikku yang sudah kukenal jauh sebelum aku mengenal Rika. Jadi aku tak mengalami kesulitan untuk memintanya bercerita lebih banyak tentang Rika dan ceritanya di pesta itu. Jawaban dari Mona ternyata adalah jawaban yang paling tidak kuinginkan. Jawaban itu benar-benar memojokkanku ke posisi yang serba salah. Siang itu aku jadi enggan bekerja dan lebih banyak termenung sendiri. Aku jadi merasa tak enak pada beberapa anak buahku yang datang ke ruanganku membawakan obat karena mengira aku sakit. Ah, mereka begitu perhatian padaku. Sayang sekali aku tak mungkin membuka masalah pribadiku pada mereka. Sebagai seorang manajer, tentu saja aku harus selalu mengendalikan segala sikapku yang menjadi panutan bagi para pegawai lainnya. Hari ini, aku menerima sebuah kabar yang mengejutkan lagi. Kali ini bukan tentang Rika, tapi urusan kantor. Tadi pagi atasanku memanggilku ke kantornya. Beliau menyampaikan kabar bahwa aku akan diikutkan dalam program studi selama dua tahun di luar negeri, tepatnya di Kanada. Mungkin hal ini bukan masalah jika aku tidak sedang pusing dengan problem cinta. Tapi dengan keadaanku sekarang, aku justru bingung. Apakah aku harus berbahagia karena kabar baik itu ? Di satu pihak memang program studi itu merupakan peluang emas bagiku untuk meningkatkan karir di masa mendatang. Tapi di sisi lain jika aku pergi selama itu sudah pasti aku bahkan tak memiliki kesempatan untuk mencoba merebut hati Rika. Malam ini aku terus berpikir. Beberapa hari lagi aku harus berangkat. Saat ini seorang pemuda lain telah memperoleh tempat di hati gadis pujaanku. Terus terang aku tidak rela ! Memang, di dunia ini yang namanya cewek nggak cuma satu doang. Tapi kurasa aku tak mungkin akan menemukan lagi seseorang yang dapat mengisi hatiku sebaik Rika. Cukupkah waktu yang tersisa ini untuk mengubah keadaan ? Biasanya aku bukanlah orang yang mudah menyerah. Aku seorang eksekutif muda yang selalu optimis dalam menghadapi berbagai permasalahan. Aku selalu yakin akan apa yang kukerjakan dan senantiasa berpikir bahwa aku dapat mengerjakan segala sesuatu dengan baik. Tapi kali ini … Dalam anganku kini kembali terbayang hari-hari lampau yang telah kulalui dengan gembira bersama Rika. Hari-hari indah yang sebentar lagi akan sirna. Kupersalahkan diriku sendiri. Mengapa tidak dari dulu kunyatakan cintaku pada Rika ? Jika itu kulakukan, barangkali aku masih punya kesempatan. Ah, penyesalan selalu datang terlambat. Beberapa hari penantian telah kulalui. Kubulatkan hatiku untuk tetap mengikuti program studi itu. Besok pagi aku akan berangkat dengan penerbangan pertama ke Kanada. Untuk menghindari kesedihan yang lebih dalam, aku sengaja tak berpamitan langsung pada Rika. Aku hanya menulis beberapa baris salam perpisahan di secarik kertas surat merah jambu yang kutitipkan pada Mona untuk disampaikan pada Rika. Aku bergegas pergi tidur ketika malam telah tiba. Apalagi kalau bukan untuk jaga kondisi. Seperti yang kuharapkan, badanku terasa segar ketika pagi ini aku bangun dan mempersiapkan diri untuk berangkat. Dengan berbekal dua koper besar penuh barang bawaan, aku memasuki taksi pesanan kemarin yang sudah menunggu sejak sepuluh menit yang lalu di depan rumahku. Segera aku dibawa pada tujuanku, bandara. Udara sungguh cerah pagi ini. Semuanya seolah mengucapkan salam selamat tinggal padaku. Setelah membereskan masalah masalah tiket, bagasi, fiskal, dan sebagainya, aku melangkah menuju Gate 18 dan memasuki pesawat Boeing 747 dengan tujuan ke Ottawa, Kanada. Sesudah semua persiapan beres, pesawat segera lepas landas tanpa mengulur waktu lagi. Ketika penumpang diperbolehkan melepas sabuk pengaman setelah pesawat mencapai ketinggian yang cukup, aku membuka jendela di samping kananku yang semula tertutup. Kotaku yang ramah, kotaku yang penuh kenangan terbentang indah mirip sebuah lukisan. Kubayangkan Rika sedang membaca salam perpisahan dariku di bawah sana. Selamat tinggal Rika ! Aku sungguh mencintaimu. Sayang, cintaku saja tak cukup untuk menyatukan kita. Biarlah perasaan ini kupendam jauh dalam lubuk hatiku, untuk selama-lamanya. – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – Senin, 27 Desember. Sudah lima tahun aku meninggalkan tanah kelahiranku. Setelah menempuh studi dua tahun di Kanada, berturut turut aku mendapat tugas di berbagai negara. Hari ini, aku pulang ke tanah air dengan posisi yang sudah sangat berbeda. Mantan manajer pemasaran ini sekarang telah menjabat sebagai wakil pimpinan untuk urusan hubungan luar negeri. Sore ini aku menghabiskan waktuku untuk jalan-jalan. Bagaimanapun, setelah menjalankan berbagai aktivitas sepanjang siang, badanku perlu penyegaran juga. Hari pertama di tanah air ini sungguh-sungguh melelahkan. Karena itu aku memilih taman kota sebagai tempat pertama yang kutuju. Memang, tempat favoritku ini selalu dapat menghilangkan segala kelelahan yang kualami. Taman kota yang penuh kenangan ini ternyata tidak banyak berubah dari keadaannya lima tahun yang lalu. Tempat ini masih asri dan hijau. Membawa ketentraman hati bagi siapa saja yang melihatnya. Ketika pandanganku menangkap sebuah sosok yang amat kukenal, hampir-hampir aku tak mampu lagi mengendalikan perasaanku. Rika ! Kisah lama yang tak akan pernah kulupakan itu tiba-tiba terbentang kembali di hadapanku. “D-David ? Kamukah itu ?” “Rika,” kataku sambil berusaha tersenyum. Kami sama-sama diam. Suasana menjadi sangat kaku. “Ke mana saja kamu selama ini ?” “Rika, aku …” “David … aku sudah membaca suratmu dulu. Apakah … apakah aku yang membuatmu memutuskan untuk pergi ?” “Aku …” Tak kutemukan kata untuk menjawab pertanyaan itu. “Aku kangen sama kamu, Vid.” Rika memecah keheningan. “Aku … aku juga.” “Vid, orang yang bernama Aldo itu tidak pernah ada. Aku mengarang tentang dia karena … kupikir perasaanku padamu tidak terbalas. Ketika aku menyadari kesalahanku saat membaca suratmu, kamu sudah berangkat tanpa meninggalkan alamat. Maafkan aku, Vid.” “Aku sayang kamu, Ka , ” ucapku lirih. Hati kecilku bergejolak hebat. “A-apakah sekarang masih ada artinya ?” “Katakan, Ka ! Apakah Rika yang kujumpai sekarang ini masih Rika yang dulu ? Bolehkah aku tahu tanggapanmu atas surat itu ?” “Aku … aku merindukanmu selama ini. Kamu harus tahu, akulah orang yang paling menyesal ketika kamu pergi dulu. Banyak hal yang belum sempat kita bicarakan bersama. Maka itu aku sering pergi ke taman kesukaanmu ini. Kuharap suatu hari ketika kamu kembali, kamu akan mengunjungi taman ini. Apakah aku berubah ? David … aku …” “Aku mencintaimu Rika. Dulu, sekarang, dan selamanya. Maukah kamu membalas cintaku ?” Rika terdiam sesaat sebelum akhirnya ia mengangguk pelan. Cukup jelas dan sangat jelas untuk kulihat. Kutatap matanya yang menyiratkan keteduhan itu. Tanpa kusadari jari-jari kami berdua telah saling berpadu dalam sebuah genggaman. Sentuhan kasih sayang yang tak terlupakan ketika segalanya telah berlalu. Semarang, 28 Februari 1996 |
Dilarang menggunakan cerpen ini untuk keperluan komersial dalam bentuk apa pun tanpa ijin tertulis dari penulis. Penyebaran cerpen diperbolehkan selama bersifat non-komersial dengan syarat harus menyertakan link URL ke alamat
https://www.robertsetiadi.com/articles/short-stories/ketika-segalanya-telah-terjadi/