Kamu pasti akan menemukannya, Cath. Cuma belum saatnya. Akan ada seorang lelaki yang menjemputmu layaknya seorang ksatria menjemput seorang putri raja, dan membawamu hidup bahagia selamanya.

 

“Hai, sedang apa di sini?” suara yang tidak asing terdengar mendekat ke arahku.

Kulempar sebongkah batu kecil yang kugenggam ke dalam danau di depanku.

Sekawanan bebek berenang menjauh dari lokasi yang baru saja menjadi sasaran batu dari tanganku.

“Kau menakuti mereka,” Cathy mengikutiku duduk di rumput.

“Ah, aku tidak bermaksud begitu.”

“Kamu belum menjawab pertanyaanku.”

“Tidak kah sudah jelas? Aku sedang duduk di sini, melihat danau.”

“Hahaha, bukan jawaban yang kumaksud. Tapi sudah lah.”

Seekor burung kecil terbang mendekatiku. Cantik sekali, putih bersih dengan segaris warna orange di sayapnya.

“Hai, kawan, terbanglah ke tempat para bebek itu, sampaikan permintaan maafku pada mereka, katakan aku tidak bermaksud mengejutkan mereka, oke?”

Dan burung kecil itu terbang ke arah danau, seakan mengerti perkataanku.

“Puas? Aku sudah mengirimkan utusan permintaan maaf.”

Cathy tertawa kecil.

“Kamu sendiri sedang apa di sini?”

“Oh, aku bermaksud melukis danau ini.”

“Tugas kuliahmu?”

“Ah tidak, kali ini bukan tugas kuliah. Cuma sedang ingin melukis.”

“Nice.”

“Bagaimana kuliahmu?”

“Yah, begitulah. Tidak banyak yang terjadi. Cuma menghitung angka.”

“Kamu terdengar seperti tidak menikmatinya.”

“Aku menikmatinya. Ini hidupku. Cuma memang aku tidak bisa menunjukkan hasil kerjaku seperti kamu bisa mempertontonkan lukisan-lukisanmu. Hasil kerjaku cuma angka, bukan sesuatu yang bisa dimengerti kebanyakan orang.”

“Hey, aku tidak sembarangan mempertontonkan lukisan.”

Aku tertawa.

“Setidaknya hasil kerjamu lebih terlihat, Cath. Lebih visual.”

“Ya, itu benar.”

Aku menerawang melihat ke langit di atasku.

“Having a bad day?” Cathy bertanya hati-hati.

Aku diam. Kulempar lagi sebongkah batu ke danau, kali ini lebih jauh, agar tidak mengganggu kawanan bebek yang tadi.

“Kuanggap itu jawaban iya.”

“Sudahlah, kadang memang beginilah aku. Aku akan tenang setelah duduk di sini cukup lama. Hey, mulailah melukis, aku ingin melihat hasilnya.”

“Hahaha, tenang, tenang, aku sedang bersiap-siap.” Cathy mengeluarkan perangkat lukis dari dalam tasnya.

Mengamati Cathy bersiap-siap melukis selalu menjadi pengalaman menarik untukku.

“Ben…” Cathy meletakkan pensilnya.

Aku menunggu Cathy melanjutkan kata-katanya.

“Pernahkah kamu membayangkan akan jadi seperti apa kamu di masa depan?”

“Hmmm, kurasa tidak banyak berubah. Aku akan bekerja di kantor sebagai pengganti pergi kuliah. Aku akan berkeluarga. Tiap hari Minggu aku akan membawa anak-anakku berjalan-jalan menikmati alam. Seperti aku sekarang. Aku tidak ingin mereka menjadi manusia yang tenggelam dalam kenyamanan teknologi.”

“Hmmm, sepertinya kamu sudah merencanakan semuanya.”

“Bukan rencana, Cath. Cuma prinsip.”

“Kadang aku bertanya, apakah aku akan punya masa depan itu.”

“Kenapa tidak?”

“Tidak akan ada seseorang yang mau membuang waktunya untuk seorang yang tinggal menghitung sisa hari kehidupannya.”

“Kamu pasti akan menemukannya, Cath. Cuma belum saatnya. Akan ada seorang lelaki yang menjemputmu layaknya seorang ksatria menjemput seorang putri raja, dan membawamu hidup bahagia selamanya.”

Cathy tersenyum kecil.

“Ayolah, hidup ini akan indah kalau kita menghadapinya dengan senyum. Aku rasa aku punya ide lebih bagus untuk objek lukisanmu hari ini. Semalam aku bermimpi pergi ke sebuah tempat dimana terdapat sebuah jembatan yang panjang, dari kayu, dan jembatan itu menyeberangkan orang-orang dari sebuah sungai yang sangat jauh di bawah. Ngeri sekali kalau sampai seseorang jatuh di sana.”

“Wah, aku tidak mau melewati jembatan seperti itu.”

“Tapi dari atas jembatan aku bisa melihat hamparan hutan yang sangat luas di kejauhan. Kamu pasti suka, Cath. Andai aku bisa memperlihatkannya padamu. Jari-jarimu pasti dapat mengabadikannya dalam lukisan.”

“Mimpi kadang merefleksikan isi pikiran kita, Ben. Aku tidak melihatnya, tapi kurasa aku sudah bisa membayangkannya.”

Cathy mengambil selembar kertas sketsa.

“Ayo, ceritakan seperti apa jembatannya.”

“Ummm.. bahannya dari kayu potongan. Kurasa warnanya agak lebih gelap dari kayu mentah biasa. Diikat dengan tali besar. Lebar jembatannya sekitar dua meter. Di kiri kanan ada pegangan yang dibuat dari tali.”

“Oke, bagus. Lalu seperti apa kedua ujungnya?” Cathy mulai membuat sketsa jembatan di dalam mimpiku.

“Ujung yang pertama sepertinya terhubung ke sebuah hutan. Aku datang dari ujung yang ini. Di seberang sana sepertinya ada gunung yang tinggi dan sedikit curam.”

“Oke, jadi seperti ini kira-kira. Apakah banyak pohon di gunung itu? Oh, tunggu, biar kutebak, pasti di gunung itu banyak pohon pinus. Betulkah?”

“Bingo! Betul sekali. Darimana kamu tahu itu?”

“Hahaha, lucky guess.”

Cathy tertawa. Goresan pensilnya mulai menggambarkan sebuah objek jembatan di dekat gunung. Mirip sekali dengan isi mimpiku.

“Serius, bagaimana kamu bisa menebaknya?”

“Umm, seperti yang kubilang, lucky guess. Tiba-tiba saja terbayang di kepalaku.”

Aku tertawa lagi.

“Sekarang, seperti apa pemandangan di kejauhan? Apakah sungainya kelihatan?”

“Hmmm, seingatku di kejauhan ada pantai dengan bebatuan, daerah berpasir, tak jauh dari situ ada wilayah dengan tanaman perdu, dengan beberapa warna-warni. Kurasa itu bunga. Kemudian di sekelilingnya terdapat banyak pohon tinggi.”

Cathy terus menggambar sementara aku terpesona melihat betapa miripnya lukisan Cathy dengan isi mimpiku.

“Ah, aku hampir lupa, semalam aku menemukan gambar-gambar ini di internet, lalu kucetak.” Cathy mengulurkan beberapa lembar kertas dengan cetakan gambar sejumlah ikan langka perairan tropis.

“Cool !!!” aku mengamati gambar-gambar itu dengan seksama. Aku memang menyukai segala hal tentang ikan.

“Suka?”

“Suka sekali,” jawabku dengan penuh semangat.

“Hehehe, aku tahu kamu pasti akan menyukainya.”

“Oh iya, Ben. Aku akan memberitahu kamu sebuah kabar baik.”

“Wah, kabar baik, aku suka kabar baik. Apa itu?”

“Seseorang bersedia mendonorkan ginjalnya untukku. Dokter bilang kalau operasinya sukses, aku bisa hidup lebih lama.”

“Pasti sukses! Nah, apa kubilang, pasti ada yang akan menolongmu. Kamu akan menikmati hidup yang indah bersama pengeranmu kelak.”

“Sayang sekali aku tidak tahu siapa yang bersedia menjadi donorku. Orang itu tidak bersedia diketahui identitasnya.” Setetes air mata menetes dari mata Cathy.

“Lho, kenapa menangis? Bukankah ini kabar baik yang sudah berbulan-bulan kau tunggu?”

“I-iya. Aku hanya terharu. Ternyata akhirnya ada seseorang yang mau menolong.”

Aku menyambutnya dengan senyum.

“Ta-tapi Ben, pendonorku tidak akan mati kan?”

“Tentu tidak, Cath, seseorang bisa tetap hidup dengan satu ginjal.”

“Syukurlah. Tapi pasti akan berat baginya.”

“Dia pasti telah memikirkannya dengan masak, Cath. Kamu perlu mensyukurinya dengan menjalani hidupmu sebaik mungkin.”

“Kamu benar. Aku akan hidup sebaik-baiknya, tidak boleh menyia-nyiakan pemberian orang.”

Dan jari-jari itu terus bergerak lincah menggambar, merealisasikan tempat yang kulihat dalam mimpiku.

“Kapan operasinya?”

“Entahlah, mungkin lusa. Jika pendonorku tidak membatalkan niatnya.”

“Aku rasa dia tidak akan membatalkannya.”

“Darimana kau tahu?”

“Just a guess,” aku tersenyum.

“Ben…”

“Ya?”

“Jika operasiku gagal, maukan kamu menyimpan album lukisan-lukisanku?”

“Hey, jangan berpikir negatif begitu.”

“A-aku tahu, cuma untuk berjaga-jaga saja.”

“Aku tidak terima andai-andai yang seperti itu.”

“Ayolah, cuma permintaan kecil dariku.”

“Aku pengagum lukisanmu, mana mungkin aku menterlantarkannya. Tapi kamu akan melalui operasi itu dengan selamat. Jadi kurasa aku tidak akan perlu menyimpannya.”

“Hahaha, oke. Janji ya.”

“Berjanjilah untuk tetap optimis, oke? Setelah selesai operasi, kita bertemu lagi di sini, aku akan mengajakmu berkeliling danau dengan perahu.”

“Kedengarannya menyenangkan.”

“Pasti. Dan untuk itu kamu harus segera sembuh.”

“Maukah kamu menemaniku saat operasi, Ben?”

“Ha?”

“Atau kamu ada acara lain? Tidak usah dipaksa kalau kamu tidak bisa.”

“Aku akan datang, Cath. Aku janji.”

~ ~ ~ o ~ ~ ~

Kamis pagi, hari operasi Cathy. Aku bangun pagi, bersiap puasa, meminum sejumlah pil yang diberikan dokter Thomas saat aku mendaftarkan diri menjadi donor ginjal untuk Cathy.

“Benson, apa kamu yakin bahwa kamu mau menjadi donor? Kami sudah mengingatkan bahwa operasi Cathy beresiko tinggi. Tidak seperti operasi ginjal pada umumnya.” kata-kata itu kembali berdengung di kepalaku.

Kulangkahkan kakiku ke arah rumah sakit. Lokasinya tidak jauh dari rumahku. Aku sudah berkali-kali datang menjenguk Cathy selama dia dirawat di sana beberapa bulan lalu. Tetapi hari ini rasanya semua lain. Mungkin karena hari ini aku bukan sekedar pengunjung biasa.

Dokter Thomas menyambutku di ruangannya dengan senyum dan sejumlah dokumen.

“Selamat pagi, Benson. Ini dokumen-dokumen yang harus kamu tandatangani. Ada sejumlah surat pernyataan yang harus ditulis sebelum pelaksanaan operasi.”

Dokter Thomas tampak sulit melanjutkan kata-katanya.

“Cathy sungguh beruntung memiliki teman sepertimu. Yang aku tidak mengerti, kenapa kamu tidak ingin Cathy tahu kalau kamu adalah pendonornya?”

Aku diam sejenak.

“Karena aku tidak mau Cathy merasa berhutang padaku, dokter.”

Aku melanjutkan aktivitasku membaca dokumen-dokumen yang diberikan dokter Thomas dan menandatanganinya.

“Berapa peluang operasi ini akan berhasil, dokter?”

“Hanya 60% Ben. Tapi Cathy hanya punya waktu maksimal 2 bulan lagi jika tidak mendapatkan ginjal sehat. Orangtuanya melarang kami untuk memberitahu Cathy soal sisa waktunya. Peluang terbaiknya untuk hidup adalah dengan operasi ini.”

“60%… anda harus berjanji menyelamatkan Cathy, dokter.”

“Pasti, semaksimal mungkin. Yang saya khawatirkan justru kondisi kamu, Benson. Tubuh kamu tidak terlalu siap. Kamu cuma memenuhi syarat kesehatan minimal untuk menjadi seorang donor.”

“Saya tahu, dokter. Tapi kita sudah menunggu beberapa bulan dan tak seorangpun bersedia menjadi donor Cathy. Jika ditunda lagi kondisi Cathy akan semakin memburuk kan?”

“Baiklah, kami menghargai keputusanmu. Karena bagaimana pun kamu lolos syarat kesehatan minimal, kami tidak bisa melarangmu.”

Kuserahkan kembali sejumlah dokumen yang sudah kutandatangani.

“Dokter Thomas, jika sesuatu terjadi pada saya, tolong serahkan beberapa surat ini. Satu untuk orang tua saya, alamatnya ada di amplopnya, dan satu lagi untuk Cathy.”

Dokter Thomas menerima dua amplop surat dariku.

“Kuharap saya tidak akan perlu memberikan surat ini ke siapa pun selain mengembalikannya padamu seusai operasi.”

“Itu juga yang saya harapkan, dokter. Tapi semua kemungkinan bisa terjadi,” aku tersenyum kecil.

Kami berdua melangkah keluar dari ruangan dokter Thomas. Cathy dan keluarganya sudah datang.

“Hai, Ben. Kamu sudah datang lebih dulu rupanya.”

“Selamat pagi, Cathy.”

“Kenapa kamu keluar dari ruangan dokter Thomas?”

“Oh, a-aku sedikit batuk, jadi kupikir sekalian ke sini aku minta resep dari dokter Thomas,” aku sedikit tidak siap menjawab pertanyaan ini.

“Ah iya, dokter Thomas seorang dokter yang hebat.”

Aku tersenyum lega.

Ayah Cathy menatapku sesaat, kubalas dengan sebuah senyum.

“Terima kasih,” hanya itu yang dibisikkannya ke telingaku saat kami bersama-sama memasuki ruangan operasi.

“Aku takut, Ben.”

“Semuanya akan berjalan dengan baik, Cath, percayalah.”

Cathy mengangguk kecil.

“Ingat rencana kita? Seusai operasi ini kita akan keliling danau.”

“Ha, baiklah, awas kalau kamu ingkar janji.”

Dokter Thomas membaringkan Cathy, mulai mempersiapkan obat bius. Seorang dokter lain mempersilakan kami keluar dari ruangan.

Keluarga Cathy menunggu di depan sementara aku memasuki ruangan lain di sebelah untuk proses persiapan. Sama seperti Cathy, mereka juga mempersiapkan obat bius untukku.

Aku meminta waktu sebentar sebelum mereka memakaikan masker bius itu di mukaku. Maafkan aku, ayah, ibu. Aku melakukan apa yang menurut aku benar untuk seseorang yang sangat berarti bagiku. Seusai operasi ini aku akan memberitahu kalian tentang Cathy, semoga kalian memaafkan anak yang paling bandel ini. Kupanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa. Dan selanjutnya semuanya gelap bagiku.

~ ~ ~ o ~ ~ ~

Dear Cathy,

Maafkan aku kalau kamu sampai harus membaca surat ini.

Maafkan aku juga aku tidak bisa memenuhi janjiku untuk menemanimu keliling danau dengan perahu.

Tapi jangan khawatir. Pada waktunya kamu akan mendapati pangeranmu sendiri menemanimu ke mana pun kau mau. Memberikanmu tawa dan bahagia yang tidak bisa kuberikan padamu.

Terima kasih untuk hari-hari indah yang sudah kamu berikan untukku. Terima kasih untuk berada di sampingku di saat-saat terberat dalam hidupku. Terima kasih memberikanku tawa dan harapan saat aku nyaris tidak memiliki arah untuk dituju.

Jauh di dalam hatiku, sebenarnya pernah terpikir sebuah harapan untuk menjadi pangeranmu. Akan tetapi aku melihat masa depanku dan menemukan tidak banyak yang bisa kuberikan padamu. Saat aku kembali ke negaraku, jarak dan waktu akan meneteskan air matamu. Aku ingin selalu menjadi sumber tawa dan ceriamu, bukan sumber sepi dan kerinduanmu. Dan saat itu aku memilih untuk tetap menjadi kawan sejatimu. Tempat dimana aku bisa terus menyinarkan senyum di bibirmu.

Maaf aku merahasiakan soal donor ini. Jagalah sepotong diriku dengan baik dalam dirimu. Doaku akan selalu menyertaimu.

Benson.

Air mata Cathy berlinang membasahi selembar surat yang sedang dibacanya.

Melbourne, 3 April 2005
In The Search of Myself
Robert Setiadi

 

revised version; special thanks for Tasia and Liping for contributing your thoughts about this story

 

Dilarang menggunakan cerpen ini untuk keperluan komersial dalam bentuk apa pun tanpa ijin tertulis dari penulis. Penyebaran cerpen diperbolehkan selama bersifat non-komersial dengan syarat harus menyertakan link URL ke alamat
https://www.robertsetiadi.com/articles/short-stories/to-die-for-you/