Nama Vina selalu memiliki tempat yang khusus di hati Ronny. Ketika Leo muncul di tengah mereka dan meminta Vina menjadi kekasihnya, segalanya menjadi berbeda. Sebuah langkah mengejutkan menjadi penentu selanjutnya …
“Tenang aja, Vi ! Besok semuanya pasti akan beres. Aku akan menemanimu mengambil pesanan itu.”
“Bener nih ?!” sepasang mata yang indah itu berbinar ceria. “Iya dong. Memangnya aku pernah bohongin kamu ?” Gadis manis yang berdiri di hadapanku tersenyum. = = = = = = = Siang ini aku melangkah pulang ke rumah dengan hati ceria. Begitu cerianya hingga empat mangkok soto bikinan Bik Iyem kuhabiskan dalam sekejap. Terang saja Donny, adikku marah marah karena jatah sotonya lenyap masuk perutku. Wih sedaaap ! Acara dilanjut dengan tidur siang. Tiap kali habis ada pelajaran olah raga, badanku pasti capek sekali sepulang sekolah. Yah, emang dari dulu aku malas olah raga. Bikin gerah sih ! = = = = = = = Sambil belajar pun aku terus terbayang akan senyum manis Vina. Cewek ini sudah kukenal sejak kelas 2 SMP. Hingga sekarang, Vina adalah orang yang paling mengerti aku. Kita sering berbagi cerita sedih dan senang, tukar pengalaman, sampai curhat ke masalah-masalah pribadi. Mungkin banyak orang akan mengira Vina adalah pacarku. Pacar ?? Sampai saat ini belum. Aku belum berhasil mengumpulkan keberanian untuk menyatakan perasaanku padanya. Aku takut perasaanku padanya tidak terbalas. Aku tidak ingin keakraban yang telah 3 tahun terjalin ini rusak gara-gara sebuah kata cinta. Nama lengkapnya Dea Lavina Lestari, bagus ya ?! Semua orang memanggilnya Dea. Aku cukup bangga karena aku satu-satunya orang yang dapat memanggil nama tengahnya. Vina akan marah bila orang lain memanggilnya dengan nama itu. Besok siang Vina harus pergi mengambil barang pesanannya di toko dekat pelabuhan. Tahu sendiri, daerah dekat pelabuhan selama ini dikenal cukup rawan, termasuk bagiku. Aku jelas tidak rela membiarkan Vina pergi sendiri ke sana. Kalau sampai terjadi sesuatu padanya, aku tak akan pernah dapat memaafkan diriku sendiri. “Ronny, jangan melamun ! Ayo belajar !” Suara mama membuyarkan lamunanku. = = = = = = = Seminggu kemudian… (sorry, ceritanya sengaja dilompatin supaya nggak kepanjangan). O iya, waktu itu aku sudah mengantar Vina ke pelabuhan. Vina memakai bando hijau muda yang bikin dia kelihatan tambah cantik. Dua hari terakhir ini aku tidak bertemu dengan Vina. Dia tidak telpon, tidak datang ke kelasku. Aku jadi cemas, apakah Vina sakit ? Apa dia kena flu gara-gara kehujanan tempo hari ? Begini saja, besok pagi aku akan mencari Vina di kelasnya. Aku mengambil handuk, lalu menuju kamar mandi (sudah hampir malam nih !). Gara-gara keasyikan baca komik, aku jadi lupa mandi. Kriiing ! Kutunda rencanaku untuk mandi. = = = = = = = “Halo.” “Halo, ini Ronny ya ?” suara Vina di seberang. “Iya, ini aku. Kenapa Vi ?” “Vina mau cerita dikit, boleh ?” “Boleh dong ! Eh, kamu dua hari ini ke mana sih ? Kok nggak kelihatan ?” “Justru karena itu. Dua hari ini Vina lagi berpikir.” “Berpikir ? Berpikir apa ? Boleh tahu nggak ?” Vina diam sejenak. “Begini, dua hari yang lalu Leo minta aku jadi pacarnya. Aku minta waktu buat berpikir. Trus, tadi siang Leo menelepon lagi dan … aku menerimanya. Sekarang aku udah jadian ama Leo.” Aku tercekat ! Sungguh, rasanya seperti disambar petir ketika aku mendengan ucapan Vina tadi. Rangkaian kata-kata itu membuatku shock lebih parah daripada kena listrik ribuan Volt. Cukup lama aku tak mengeluarkan suara. “Ron…” “I-iya… ?” “Kamu kenapa ?” “T-tidak. Aku cuma agak capek.” “Bener ?” “Iya, bener !” “Ya sudah. Aku cuma mau bilang itu. Besok pagi aku cerita lagi. Udah dulu ya telponnya.” Kututup telepon itu dengan perasaan tak menentu. Kenapa bisa begini ?? Aku berlari ke kamarku. Betapa pun kutahan, pipiku mulai basah oleh air mata. = = = = = = = Malam ini aku termenung sendiri dalam sepi. Biasanya, setiap kali aku punya kesedihan, bayangan wajah Vina selalu dapat menghiburku. Sering kuangankan bahwa suatu hari nanti Vina akan menjadi milikku. Dengan seseorang yang sungguh mengerti aku di sisiku, tiada lagi yang kucamaskan dalam hidup ini. Segalanya sangat berbeda sekarang. Aku tidak bisa dan tidak boleh lagi mengharapkan Vina. Dia yang kusayang kini telah menjadi milik orang lain. Vina yang selalu menjadi alasan bagiku untuk tetap tabah. Kini harapan itu telah hilang. Tak sepatah kata terucap hingga malam telah larut. Akhirnya aku tertidur. Jumat pagi. Sesampai di sekolah aku segera menaruh tas, lalu menuju ke kelas 2E, kelasnya Vina. Segera kuhentikan langkahku melihat Vina dan Leo sedang duduk bersebelahan di dalam kelas. Tadinya aku ingin menunjukkan lukisan yang kubuat selama 2 minggu terakhir ini Vina menyukai kucing, jadi aku sering membuat gambar kucing untuknya. Ah, sepertinya sekarang Vina sudah tak lagi menginginkannya. = = = = = = = Bel berbunyi ! Pelajaran pertama matematika, membosankan. Pelajaran kedua biologi, bikin ngantuk. Pelajaran ketiga kimia. Nah, yang satu ini lumayan. Gurunya cantik, muda, bodinya oke, dan … mirip Vina. Astaga ! Mengapa sedetik pun pikiranku tak dapat lepas bayang-bayangnya ? Apakah aku memang sudah terlajur mencintainya terlalu dalam ? Bel istirahat pertama terdengar sebagai bunyi kebebasan bagiku. “Hai Ron, ada waktu ?” suara Vina, eh Dea mengejutkanku. Entahlah, apa aku masih pantas memanggilnya Vina ? “Kenapa, Vi ?” “Temani aku ke kantin ya ?” “Tapi Leo …” “Hey, apakah aku harus tiap detik bersama Leo ? Aku kan masih punya kebebasan berteman. Dia tidak boleh melarangku.” Jujur, aku heran sekaligus kagum pada Vina. Kuusahakan untuk bersikap sewajar mungkin. “Baiklah, ayo.” Kami berdua jalan ke kantin. “Ron …” “Ya ?” “Kenapa kamu jadi pendiam ? Kamu ada masalah ?” “T-tidak, tidak ada.” “Ron, aku cukup lama kenal kamu. Kita selalu berbagi masalah bersama, kan ? Mulutmu bisa berpura-pura, tapi sorot matamu tidak.” “A-aku …” aku menghentikan ucapanku. “Sudahlah, mungkin kamu belum mau cerita. Kapan saja, kalau kamu perlu teman bicara, aku siap jadi pendengar yang baik.” Aku mengangguk. “Ron, aku ingin kamu tahu. Sampai sekarang, aku tetap selalu siap di sampingmu, membantumu setiap kamu punya kesulitan. Kita sudah 3 tahun berteman. Antara aku dan Leo itu hal lain, tidak akan dan tidak boleh mengganggu hubungan kita. Cinta dan persahabatan itu sesuatu yang berbeda. Kamu mengerti, Ron ?” “Y-ya, kukira ya.” Dea tersenyum. Tapi senyuman yang indah itu sudah bukan milikku lagi. “Dea, terima kasih.” “Eh, apa kamu bilang tadi ?” Aku diam, tidak mengerti. “Sejak kapan kamu memanggilku Dea ? Kamu satu-satunya orang memanggilku Vina, dan aku suka itu.” Dea berhenti sejenak. “Ron, tetaplah seperti biasa. Aku tidak mau segalanya berubah karena Leo. Beberapa hari ini sikap teman-teman terhadapku juga berubah. Mereka seolah menjaga jarak denganku karena mengetahui aku sudah jadian ama Leo. Aku sedih sekali. Aku tidak ingin ini terjadi, kuharap semuanya tetap seperti biasa. Apalagi kamu, kamu adalah teman terdekatku, Ron. Kamu teman yang paling kupercaya.” Aku terdiam mendengar kata-katanya. Ada kehangatan menjalar di seluruh tubuhku. Sebuah rasa aneh menyusup dalam hatiku. Sungguh, aku bangga. Aku tidak salah memilihmu, Vi. Seandainya saja kamu tahu perasaanku terhadapmu. = = = = = = = Malam ini benar-benar terasa panjang bagiku. Pikiranku terus dan terus kembali pada percakapan dengan Vina tadi siang. “Cinta dan persahabatan itu sesuatu yang berbeda.” Entah berapa kali kalimat itu terus bergema di kepalaku. Seolah terdengar lagi, lagi, dan lagi. Sosok manis itu kembali hadir dalam anganku. Vina, masih bolehkah aku mencintaimu ? Masih bolehkan aku mengharapkanmu ? Hari ini aku terus berusaha melupakan rasa cintaku padamu, tapi aku tidak bisa, aku tidak sanggup. Dan saat ini juga, kuputuskan untuk terus mencintaimu. Sekalipun kamu mungkin tidak akan pernah membalas cintaku. Kuhempaskan tubuhku di ranjang. Pikiranku menerawang jauh. Kutarik nafas panjang. Kemudian kuarahkan pandanganku ke atas. “Yang Mahakuasa, selama ini tidak banyak aku meminta sesuatu. Aku mohon, sekali ini, biarkan aku memiliki cinta dari orang yang paling kusayangi.” Langit yang cerah di luar tiba-tiba berubah. Petir dan kilat bersahut-sahutan. Angin bertiup amat kencang, kemudian turun hujan. Jujur saja, kuakui aku sangan terkejut oleh “kebetulan” yang luar biasa ini. Tuhan, apakah Engkau mendengar doaku ? Aku tertidur lelap tak lama sesudahnya. = = = = = = = Hari Selasa. Aku sudah tak sabar untuk menemui Dea Begitu tergesa-gesanya sampai aku hampir lupa sarapan. “Ron, makan dulu !” mama mengingatkan. “O, iya. Lupa.” “Heran, sampai sekarang masih belum bisa mengurus dirinya sendiri. Bagaimana kalau kamu berkeluarga nanti ?” Aku berhenti sejenak. Ah, kalau saja mama tahu … = = = = = = = Perjalananku ke sekolah terhenti sebentar. Seorang anak kecil, kuduga baru berusia 4 atau 5 tahun, kudapati menangis di tepi jalan, dia takut menyeberang. Jadi kuluangkan waktuku sebentar untuk membawa anak itu menemukan ibunya. Sang ibu ternyata tak jauh dari situ. Dia sedang berjalan bersama beberapa anak, kuhitung ada sebelas. Pantas saja dia terlambat menyadari kalau ada satu yang tertinggal. Belakangan kuketahui kalau keduabelas anak itu semuanya saudara kandung, beberapa diantaranya kembar. Astaga ! = = = = = = = Istirahat pertama aku gagal bicara dengan Vina. Dia sedang berduaan dengan Leo. Aku tidak mau mengganggunya. Istirahat kedua kulihat Leo tidak ada. Aku masuk ke kelas. “Vi, ada waktu sebentar ?” Senyum manis itu terukir lagi. “Selalu ada, ayo !” Dea menghampiriku. “Jangan di sini, aku nggak mau ribut sama Leo, ” pintanya. “Nggak masalah. Kantin ?” jawabku. “Oke, aku yang traktir !” “Tapi …” “Dilarang protes ! Kemarin kamu sudah traktir, hari ini giliranku !” “Oke lah.” Vina mengikutiku ke kantin. “Nah, kamu bisa mulai cerita, tentang apa ini ?” “Sebenarnya saat ini banyak sekali masalah yang mau kuceritakan padamu. Tapi aku akan mulai dari yang terpenting dulu.” “O ya ?! Teruskan !” “Tentang kita.” “Kita ??” “Ya, tentang kita. Kamu, aku, dan Leo.” “Maksudmu…” “Tentang Leo, Vi. Bolehkah aku menanyakan sesuatu yang pribadi padamu ?” “Tentu saja, di antara kita nggak ada rahasia kan ?!” “Aku tahu ini pertanyaan tolol, tapi … apakah kamu mencintainya ?” Vina diam. “Apa yang membuatmu menerimanya ?” “A-a-aku…” Aku menunggu jawaban selanjutnya. “A-aku memerlukan cinta, Ron. Aku ingin seseorang yang mencintaiku berada di sisiku. Leo dengan tulus menyatakan cintanya, dan… aku menerimanya.” Aku terdiam. “Apakah selama ini kamu menganggap tidak ada orang yang selalu setia bersamamu ?” “Kita selalu bersama, Ron. Tapi kamu pernah mengatakan bahwa kita adalah teman baik. Seorang teman baik bisa memberi perhatian, dukungan, dan segalanya, kecuali cinta. Tahukah kamu, Ron ?” Cukup lama tidak ada yang bersuara. “Apakah sebelum ini kamu mencintainya ?” “T-tidak.” “Apakah sekarang kamu mencintainya ?” Vina terdiam lagi. “Aku mohon, Vi. Jawablah dengan jujur !” “…y-ya.” Aku tercekat mendengar jawaban itu. “Vi, kalau suatu saat aku dan Leo sama-sama berada dalam bahaya di tempat yang berbeda. Cuma kamu yang bisa menolong. Siapa yang akan kamu tolong lebih dulu ?” “Ronny, kenapa kamu ?” “Jawab saja, Vi. Tolong !” “… seberapa bahaya ?” Vina mencoba mengalihkan perhatian. “Mengancam nyawa, misalnya.” Vina diam cukup lama. Ada perubahan yang jelas pada raut wajahnya. Aku menunggu, tak kuulangi pertanyaanku. “Aku akan menolongnya dulu !” jawab Vina pada akhirnya. Aku terus diam, dari nadanya aku yakin jawaban itu belum selesai. Setidaknya aku mengunggu Vina mengucapkan alasannya. “Aku akan menolong Leo dulu, baru kemudian menolongmu. Karena aku siap menempuh bahaya bersamamu. Ini masalah yang menyangkut nyawa, jika aku harus mati bersamamu, aku siap dan aku rela untuk itu.” |
Sungguh aku tak percaya apa yang baru saja kudengar !
Kutatap mata yang cantik itu dalam-dalam. Kali ini tidak kutemukan sosok Vina yang ceria dan sedikit manja. Kali ini yang kulihat adalah sisi lain dari kepribadiannya. Sisi Vina yang tegas. Tegas dan serius. “Vi…” aku berkata lirih. “Mungkin ini sudah terlambat, tapi… jika kamu harus memilih cintamu sekali lagi, mana yang kau pilih, aku atau Leo ?” “Ron, sadarkah kamu apa yang kamu lakukan ?” “Aku sadar, Vi. Sangat sadar. Saat ini aku sedang mengakhiri persahabatan kita… dan memulai sesuatu yang baru.” Aku berhenti sejenak. “Aku mencintaimu, Vi. Dari dulu tak pernah berani kuungkapkan perasaan ini. Aku tahu ini salahku. Aku terlalu takut kehilangan kamu.” Sesaat semua kembali hening. “Maukah kamu membalas cintaku ?” Vina tetap diam seribu basa. “Dea Lavina Lestari, aku mencintaimu. Maukah kamu membalas cintaku ?” Vina masih diam. Aku sabar menunggu jawabannya. “Ron…” “Ya ??” “Entahlah, aku masih bingung dengan semua yang terjadi. Tentang kita, tentang Leo … Aku, aku ingin menenangkan diriku dulu. Beri aku waktu Ronny.” “Berpikirlah, Vi. Ambillah waktu sebanyak yang kamu perlukan. Aku menunggumu.” “Oh, kamu di sini, Dea. Kamu juga, Ron. Dea, kembali ke kelas yuk !” tiba-tiba Leo sudah berada di dekatku. Ia menggandeng Dea menuju ke kelas. “Ron…” Dea menatapku dengan penuh makna. “Pergilah, Vi. Lakukan apa yang menurutmu harus dilakukan, ” aku menjawabnya. Mereka kembali ke kelas dan meninggalkan aku di kantin. = = = = = = = Dua hari telah berlalu. Aku sengaja tidak menemui Vina. Aku tahu, dia butuh waktu untuk sendiri. Jumat ini sepanjang siang aku duduk di dekat telepon dan terus berharap semoga telepon berikutnya dari Vina. Kriiing ! Segera kuangkat. “Halo.” “Halo, ini Ronny ya ?” terdengar suara cowok, ternyata Edi. “Ya ini aku. Ada apa Ed ?” “Selasa lalu kamu nggak ikut latihan renang. Kenapa ? Sakit ?” Astaga ! Beberapa hari terakhir ini pikiranku hanya tercurah untuk masalah Vina. Aku lupa ! “Ups, sorry banget Ed, aku lupa.” “Buset, gawat banget lu, kecil-kecil udah pikun.” “Aku…” “Sudahlah. Begini, nanti sore kita ada latihan ekstra. Teknik penyelamatan orang tenggelam dan pertolongan pertamanya. Datang ya ?!” “Jam berapa ?” “Jam empat.” “Astaga, itu kan jamku les piano.” “Kamu les piano ?” “Iya.” “Ya sudah, nanti kusampaikan ke Pak Badrun. Besok Selasa depan kamu datang latihan kan ?” “Ya, pasti.” = = = = = = = Pembicaraan dengan Edi sudah selesai. Aku melihat jam dinding di atas meja telepon. Jam tiga, huh, masih satu jam sebelum saat-saat penyiksaan di ruang musik yang membosankan itu. Pintu diketuk. Kubukakan. “Met sore Ron, ada waktu sebentar ?” Aku sangat terkejut. Leo datang ! “T-tentu, masuklah !” Leo masuk. Kupersilakan duduk. Lalu kami berdua diam. Aku sibuk menduga-duga maksud kedatangan Leo dalam hati. “Aku ingin bicara Ron, tentang Dea.” “Katakanlah !” “Aku tahu banyak tentang kalian. Meskipun Dea tidak pernah menceritakannya sendiri, aku cukup tahu posisiku. Hanya sayangnya aku terlambat menyadarinya.” “Maksudmu ??” “Akan kujelaskan nanti. Sekarang, sebelum aku berkata lebih banyak, aku cuma mau tanya satu hal padamu.” Aku diam menunggu pertanyaannya. “Kamu mencintainya ?” “Ya.” Leo diam sejenak. “Sudah kuduga.” “Aku masih belum mengerti apa maksud pertanyaanmu.” “Baiklah, aku akan jujur saja. Kita mencintai orang yang sama, Dea. Secara resmi, akulah pacarnya. Tapi … jauh dalam hatinya, Dea lebih menganggapmu daripada aku.” Ucapan yang sama sekali tak kuduga ! “Mulanya aku tidak menyadari. Kupikir kalian memang teman biasa, sahabat karib lah ! Tapi tahukah kamu ? Sampai aku resmi jadi pacarnya, dia tetap lebih percaya padamu, lebih memperhatika kamu. Lalu aku berpikir, mungkin tempatku seharusnya bukan di sampingnya. Kamu lebih pantas untuk itu.” “Leo, aku…” “Diamlah ! Biarkan aku bicara dulu sampai selesai.” Aku tidak melanjutkan kata-kataku. “Kamu satu-satunya orang yang bisa memanggil nama tengahnya. Kalau ada orang lain melakukannya, dia akan marah dan pura-pura tidak dengar. Kamu tahu ? Aku sendiri pun tidak boleh memanggilnya Vina.” Leo berhenti sejenak. “Aku iri padamu, Ron.” Leo menundukkan kepalanya sebentar, lalu menatapku. “Ronny, cinta tidak harus berarti memiliki. Aku cuma mau berkata, ini harus diakhiri. Salah satu dari kita harus mundur dari permainan ini.” “Permainan ??” “Ya, permainan ! Dea menerimaku hanya sebagai pelampiasan karena cintanya padamu tak kunjung ditanggapi. Selama ini aku cuma pelariannya. Apa itu bukan permainan ?” “Leo ! Jangan salah, Vina tidak bermaksud mempermainkanmu !” aku berkata agak keras. Leo diam. Kukira dia terkejut mendengar nada bicaraku. “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud memotong pembicaraanmu.” “Hanya satu dari kita yang boleh memilikinya.” “Biarkan Vina yang menentukannya, Leo.” “Ya, kurasa kamu benar. Biar Vina yang menentukan pilihannya. Satu hal lagi kamu harus tahu…” “Aku mendengarkan.” “Kalah atau menang, aku akan menerimanya dengan sepenuh hati. Kalau kamu mendapatkannya, jaga dia baik-baik, kudoakan kalian bahagia. Kalau aku yang mendapatkannya, kuminta biarkan kami bersama, jagalah jarak dengannya. Apa permintaanku berlebihan ?” “Cukup adil, kurasa. Aku setuju.” Kami bersalaman. “Aku permisi dulu.” “Leo…” Leo berhenti. “Apapun yang terjadi … aku bangga bersaing denganmu.” “Terima kasih atas pujiannya.” “Terima kasih atas kedatangannya.” = = = = = = = Sabtu pagi. Istirahat pertama. Vina masuk ke kelasku. Dia memakai pita baru, warnanya merah muda. “Ronny…” “Ya, sebentar, ” jawabku sambil berjalan ke arahnya. “Jangan di sini.” “Di mana ? Kantin lagi ?” “Tidak, kali ini kita ke perpustakaan saja. Di sana sepi, enak buat bicara.” Aku tersenyum. Vina meraih tanganku. “Ayolah !” “Oke.” Berdua kami menuju perpustakaan di lantai atas. “Ron…” “Ya ?” “Pita baruku bagus ?” “Cantik sekali. Kamu selalu kelihatan cantik.” Vina tersenyum. “Kita ke sini bukan cuma bicara soal pita kan ?” “Bukan itu, aku cuma mau tahu apakah penampilanku sudah cukup baik.” “Tidak biasanya kamu peduli masalah penampilan. Kenapa kamu menanyakan hal itu ?” “Sebab aku ingin kelihatan cantik saat berjalan bersama, di sampingmu.” “Vina… benarkah…” Vina tersenyum lagi. “Tadi pagi aku sudah bicara dengan Leo. Semua sudah kuakhiri. Kelihatannya dia bisa menerima.” Vina berhenti sebentar. “Aku bersamamu sekarang, Ron.” Tak percaya aku diam terpaku memandangnya. Ini bukan mimpi, pikirku meyakinkan diri sendiri. Kuraih jemari halus itu. “Vi, aku berjanji, aku akan selalu menjadi yang terbaik bagimu. Aku akan selalu menyayangimu.” “Yang kudengar tadi sudah lebih dari cukup. Kita harus merayakannya sekarang.” “Ke kantin ?” “Hey, jangan ngaco, memangnya ke mana lagi ?” “Ayolah !” Kami meninggalkan perpustakaan. Bergandengan, kini. Di dekat kantin kulihat Leo sudah menunggu. Aku memandang ke arahnya, siap menerima segala kemungkinan. Leo tidak melakukan apa-apa. Dia tidak mendekati kami atau menjauhi kami. Leo cuma diam di tempatnya berdiri dan tersenyum kepadaku. Kubalas senyuman itu. Bukan senyum kemenangan, tapi senyum kekaguman yang tulus. Petir itu ! Ya, aku kembali teringat pada kejadian saat aku mengucapkan harapanku. Aku yakin, sekali ini Yang Maha Kuasa telah mendengar pintaku. Hari-hariku selanjutnya masih seperti biasa, penuh dengan berbagai masalah dan cobaan. Tapi kini ada satu perbedaan besar. Ada seorang Vina di sisiku yang selalu memahami perasaanku. Vina telah membantuku melewati hari-hari sulit dalam hidupku. = = = = = = = Sudah lima bulan aku jalan bareng Vina. Hari ini adalah hari peringatan lima bulan hubungan kami sekaligus hari ulang tahunku yang ke-17. “Pagi, Vina…” “Met pagi juga, Ron.” “Sudah lima bulan, Vi. Ini hari special kita.” Aku memberikan bungkusan berisi kalung kepadanya. “Aku juga punya 2 hadiah buatmu, Ron. Satu untuk kita, satu untuk ulang tahunmu.” Vina memberikan sebuah bungkusan kado berwarna merah padaku. “This is for our anniversary.” “Thanks, Vi.” “Dan untuk ulang tahun kamu …” Aku tidak bereaksi. “Nanti saja sepulang sekolah, ” Vina menyambung ucapannya. Jam-jam pelajaran selanjutnya kulewati tanpa ketenangan. Panasaran juga aku. Kenapa sih Vina main rahasia-rahasiaan misterius segala ? Untung saja ulangan Bahasa Inggrisku tetap sukses. Yah, nilai 9 lumayan juga kan ? = = = = = = = Pulang sekolah aku segera menemui Vina. “Vina, kalau nggak salah sekarang ini sudah pulang sekolah ya ?!” “Ya, entar dulu. Tunggu yang lain pulang, biar agak sepi.” Kami menunggu. Tanpa kata. Sudah agak sepi sekarang, kurasa. Kulihat Vina mulai beranjak dari duduknya. Aku tetap berdiri, menunggu. “Selamat ulang tahun, Ron. Semoga tambah pinter, tambah cakep, makin berprestasi, dan … makin sayang sama Vina.” Vina maju selangkah dan mencium pipi kiriku. Aku terkejut. Kupegang wajah ayu itu dengan lembut. Kubelai rambutnya dengan sayang. Pelan-pelan aku mendekat dan kukecup pipinya. “Aku mencintaimu, Vi.” Raut Vina bersemu merah. Kemudian ia menyandarkan kepalanya di bahuku. Sungguh, aku adalah cowok yang paling beruntung di dunia ! = = = = = = = Sore hari kubuka hadiah dari Vina. Sebuah patung porselin ! Sepasang suami-isteri sedang bergandengan tangan dengan mesra. Di sekitar mereka ada beberapa anak kecil, anak mereka tentunya. Kuhitung jumlah anak kecil pada patung cantik itu. Dua belas ! Salah satunya sungguh mirip dengan anak yang pernah kutolong dulu. Aku langsung mengelus kepalaku. Jakarta, 9 November 1997 |
Dilarang menggunakan cerpen ini untuk keperluan komersial dalam bentuk apa pun tanpa ijin tertulis dari penulis. Penyebaran cerpen diperbolehkan selama bersifat non-komersial dengan syarat harus menyertakan link URL ke alamat
https://www.robertsetiadi.com/articles/short-stories/selalu-untuk-selamanya/